MENGAPA PEMILU DITARIK SEBAGAI HAJAT RESISTENSI KEAGAMAAN

PATTIMURAPOST.COM, Jika masyarakat mempertanyakan tentang perkembangan sejarah tata negara serta mencermati tentang keberlangsungan pemilu di Indonesia, tentu penjabarannya akan menjadi panjang dan lebar. Apalagi mempersoalkan hal-hal lain diluar konteks yang terkait kedalam proses penyelenggaraannya. Melalui UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu, maka UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 untuk menyelenggarakan pemilu secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Oleh karenanya, bagaimana pun penyelenggaraan pemilu yang kemudian direalisasikan pada pelaksanaan Pemilu tahun 1955 untuk memilih anggota konstituante telah terjadi. Meski pun pada akhirnya badan yang dibentuk ini kemudian dibubarkan dan Indonesia kembali pada UUD 1945 melalui dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno. Inilah fakta sejarah yang harus dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia.

Oleh karenanya, pemilu merupakan sistem demokrasi yang diselenggarakan atas dasar perintah UU. Sebab bagaimana pun pemilu merupakan persyaratan negara demokrasi modern, dimana penyelenggaraan pemilu merupakan mekanisme utama dan prasyarat bagi suatu negara demokrasi. Inilah yang semestinya menjadi pijakan masyarakat, bahwa penyelenggaraan pemilu merupakan terpenuhinya hajat rakyat selaku warga negara, dimana pada konteks perwujudannya bukan merupakan perintah agama manapun termasuk dalam proses penyelenggaraannya sekalipun. Sehingga Pemilu tidak perlu dikaitkan pada keimanan seseorang atau suatu golongan umat yang berasal dari agama manapun dibalik isu politisasi agama yang masuk kedalam mediasi politik saat ini. Kehadiran umat islam pada konteks pemilu semestinya membangun relasi keterbukaan dan kesempatan bagi golongan agama lain ditengah mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam.

Bacaan Lainnya

Kalau pun Mr. Somad mengkaitkan antara mencoblos dengan kesaksian, dimana pencoblosan yang merupakan bagian dari tata cara pelaksanaan pemilu, akan tetapi begitu anehnya ketika hal tersebut langsung ditariknya kedalam hadist nabi Muhammad Saw yang menyebutkan ada tiga dosa besar, dimana salah satunya adalah mengenai ancaman bagi para muslim sekiranya bersaksi palsu. Dari pernyataannya ini, tentu saja masyarakat harus paham, kemana arah dan tujuan pernyataan dari Abdul Somad sehingga dengan sengaja mengkaitkan hal tersebut agar umat muslim Indonesia akan bersikap sebagaimana yang di inginkannya. Walau pada bagian lain, organisasi besar islam seperti Muhammadiyah dan NU yang acap kali memberikan jarak yang tegas, jelas dan nyata terhadap situasi politik tanah air dari berbagai pernyataan resminya.

Pemilu merupakan hajat demokrasi bagi segenap warga negara. Bukan diartikan secara sempit sebagai pesta umat beragama sehingga dipilihnya calon tertentu didasari atas keyakinan yang sama atas identitas agama yang sama pula. Sebab mereka yang bukan dari kalangan muslim atau bahkan tidak beragama sekalipun dapat ikut serta dalam pesta demokrasi untuk memilih siapa saja tanpa harus melihat dari mana dan golongan apa para calon itu akan dipilih oleh masyarakat yang notabenenya adalah warga negara Indonesia. Sehingga konteks pelaksanaan Pemilu jangan dibawa-bawa kedalam resistensi keagamaan dan keyakinan apapun yang akan menimbulkan potensi perpecahan dikalangan masyarakat luas pada akhirnya. Apalagi dari sikap yang demikian disinyalir menimbulkan sikap pengkotak-kotakan akan memecahbelah ikatan kebhinnekaan bangsa ini.

Islam mengajarkan untuk mengambil keputusan bersama atau menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah. Termasuk dalam memilih pemimpin dengan cara musyawarah mufakat atau pemungutan suara. Inilah citra demokrasi yang diterapkan didalam ajaran islam untuk menghargai pendapat orang lain serta memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menyampaikan pendapatnya agar didengar. Pentingnya demokrasi dalam islam adalah guna memperjuangkan tegaknya hukum-hukum dalam menentukan perkara-perkara yang sesuai dengan syariat islam demi menguntungkan bagi seluruh rakyat. Maka dengan ikutnya para muslim didalam sistem demokrasi di berbagai daerah tentu diarahkan agar bertujuan menghapuskan hukum hukum yang merugikan umat islam, namun tetap mempertimbangkan kemaslahatan bagi seluruh golongan yang ada.

Sehingga pemimpin islam tidak akan mementingkan dirinya sendiri atau berfokus pada kepentingan umat dan golongannya saja, apalagi mengabaikan umat-umat agama lain sebagaimana Gusdur ajarkan, termasuk pada konteks umat islam yang berpijak pada ajaran islam sebagai Rahmatan Lil’alamin. Dimana Secara etimologis, Islam berarti “damai”, sedangkan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”. Maka apa yang dimaksud dengan Islam Rahmatan Lil’alamin adalah Islam yang hadir di tengah kehidupan masyarakat agar mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta ini. Rasulullah SAW mengatakan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Thabrani dengan derajat hasan, bahwa “Tidak termasuk orang yang beriman kepadaku, orang-orang yang tertidur karena kekenyangan, tapi di sampingnya ada tetangga yang tidak bisa tidur karena lapar. Dan dia tahu keadaan itu.”

Hadist ini menampakkan demikian perdulinya islam dengan golongan agama lain, sehingga islam memiliki adab yang khusus terhadap mereka. Secara spesial islam mengatur tentang tata cara tersendiri guna mementingkan golongan khusus ini. Bahkan dalam riwayat lain pun Nabi Muhammad SAW bersabda,
مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنًّهُ سَيُوَرِّثُهٌ
Artinya: Tak henti-hentinya malaikat Jibril berpesan kepadaku tentang persoalan (berbuat baik kepada) tetangga, sampai-sampai aku menyangka ia akan memberikan hak waris kepada tetangga (HR.Mutafaqun ‘alaih). Apalagi pada hadist lain menyebutkan tentang harkat dan hak-hak tetangga didalam ajaran islam. Sehingga umat islam dilarang membeda-bedakan tetangga berdasarkan agamanya, meskipun tetangga tersebut berasal dari golongan non muslim, dimana umat islam harus bersikap lemah lembut serta berprilaku baik terhadap mereka.

Ruang bagi kiprah politik tanah air tidak membatasi siapa pun dan golongan manapun untuk ikut serta didalam Pemilu yang memang menjadi sarana kepesertaan warga bangsa untuk dipilih dan memilih. Oleh karena UU mengatur tentang itu semua, namun bukan berarti sisi perbedaan agama dengan segenap pertentangan dan cara-cara untuk mendeskreditkan mereka dalam pelaksanaan pemilu dibenarkan. Maka, Janganlah para pendakwah islam diluar NU dan Muhammadiyah mengambil preseden dari pribadi ulama yang secara perseorangan untuk dijadikan dalil atas pijakan umat agar dengan sengaja dijadikan aturan tambahan dari tata cara berdemokrasi didalam islam demi mengutamakan golongannya sendiri. Sebab pedoman Hadist dan Sunnah saja masih banyak yang belum memahaminya secara utuh. Termasuk Ijma ulama yang menjadi sumber pijakan bagi umat islam indonesia pada umumnya.

Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi. ((*

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *