OTONOMI DAERAH MENJADI CELAH PENYEBAB PENYIMPANGAN POLITIK

PATTIMURAPOST.COM, Penulis : Andi Salim, Sistem sentralisasi merupakan pemusatan seluruh kewenangan yang terbangun melalui suatu struktur organisasi kepada sekelompok kecil pengurusnya. Sehingga sistem ini menjauhkan pemimpin tertinggi terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Pengendalian Sistem semacam ini terjadi pada masa orde lama dan orde baru yang memusatkan seluruh kekuasaannya kepada pemerintahan pusat. Hingga pada tahun 1998 Indonesia memasuki era reformasi untuk menerapkan sistem otonomi daerah guna mendekatkan perhatian pemerintah terhadap rakyatnya diberbagai kawasan tanah air. Meskipun dibalik penerepan ini, masih terdapat pengendalian bidang-bidang tertentu yang masih bertumpu pada sentralisasi kekuasaan pusat demi pengamanan sektor tersebut yang menjadi bagian dari proses integrasi wilayah terhadap keutuhan NKRI sepenuhnya. Kisi-kisi inilah yang penulis coba ungkapkan terhadap sisi mana penerapan OTDA ini layak untuk dikritisi.

Kewenangan yang tidak diserahkan kepada pemerintah daerah tersebut yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sehingga 5 kewenangan ini masih menjadi otorisasi pusat yang tidak boleh disentuh sekalipun kewenangan OTDA telah berlaku, meski berbagai persoalan terus berkembang khususnya terhadap penerapan atas keanekaragaman agama yang terkesan memiliki cara pandang yang berbeda antara pusat dan daerah dalam menyikapi hal ini, namun penerapan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 telah begitu jelas bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dalam kapasitasnya untuk menerapkan tata kelola negara serta aturan ketatanegaraan sebagai konsekuensi dari prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang diterapkan.

Bacaan Lainnya

Tujuan otonomi daerah sebenarnya sangat baik, terutama dari inisiatifnya agar supaya pemerintah tidak hanya dijalankan oleh pemerintah pusat saja, melainkan daerah pun dapat diberi hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri atas berbagai persoalan yang terdapat diwilayahnya. Sebab mengurus 17.000 pulau bukanlah hal yang sederhana bagi seorang Presiden untuk mampu menjangkau semua kawasan tersebut sekalipun rentang waktu masa jabatannya habis selama 5 tahun bahkan ditambahkan 2 periode kekuasaannya sekalipun. Bagaimana pun pengambilan kebijakan pemerintah dirasakan harus cepat dan tepat hingga mampu secara efektif dan efisien dalam melakukan solving atas berbagai problem penuntasannya. Pada faktor inilah penerapan OTDA menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Apalagi pemerataan pembangunan dirasakan menjadi desakan keadilan untuk dirasakan oleh semua daerah.

Sistem otonomi daerah pun menjadi lengkap dengan 3 azas strukturalnya yaitu tugas pembantuan, dekonsentrasi, dan desentralisasi. Pendek kata, fungsi pemerintah yang terbagi pada 3 fungsinya, yaitu fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan dan fungsi pelayanan diharapkan terdistribusi secara shortcut melalui penerapan OTDA ini. Bahkan kehidupan berdemokrasi pun menjadi tumbuh dan berkembang atas pilihan-pilihan prioritas pembangunan mana yang sebaiknya ditempuh demi mendengar dan mendapatkan keinginan masyarakat sesungguhnya. Maka tak heran, semua kawasan tanah air menyambut penerapan OTDA ini sebagai peluang kepesertaan mereka yang selama ini didambakannya. Pola inilah yang dimaksudkan sebagai good governance dimana terdapat 4 prinsip utamanya yaitu akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, serta aturan hukum yang berlaku dari kepesertaan rakyat didalam memperoleh berbagai akses kebijakan melalui 3 pilar utamanya yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat itu sendiri.

Sedemikian sempurnanya aturan dan sistem pengorganisasian dalam penerapan OTDA ini, tentu mendatangkan ekses yang semestinya diperhitungkan oleh banyak pihak dalam mengkaji dampak negatifnya pula. Sebab bagaimanapun fungsi kritik harus tetap dijalankan dari kelangsungannya sejak era reformasi bergulir. Naiknya angka dan pelaku korupsi yang secara masif, sinkronisasi sikap antara pusat dan daerah yang sering tidak paralel, serta berkembangnya pola demokrasi yang menyimpang, merupakan hiasan yang semestinya perlu mendapat perhatian masyarakat luas. Sehingga, penerapan otonomi daerah jangan sampai diartikan sebagai cara untuk mendekatkan kesewenangan pemimpin terhadap rakyatnya guna lebih mudah bertindak koruptif, melawan pola-pola integrasi nasional, serta menerapkan penyimpangan demokrasi transaksional terhadap masyarakat daerah hingga membangun politik dinasty kekuasaan pada akhirnya.

Sekalipun melalui sistem demokrasi telah berhasil memilih wakil-wakil rakyat, pimpinan daerah maupun presiden dan wakil presiden. Serta melanjutkannya pada pengangkatan jabatan-jabatan lain seperti yudikatif, lembaga setingkat menteri, atau lembaga-lembaga independen dan seterusnya. Namun sistem pemilu terbuka untuk memilih para legislatif dan eksekutif terhadap jabatan politis yang bertarung secara langsung, sesungguhnya menimbulkan residu politik yang terus menerus mengendap tanpa pernah ada yang mendaur ulang sampah-sampah tersebut pasca berakhirnya pesta pemilu atau pilkada yang menumpuk di tataran grassroot. Hal itu bagaikan menumpuknya kadar gula dalam darah hingga mengendap di bagian kaki dari mereka yang menderita penyakit diabetes hingga berujung eksekusi amputasi sekiranya mengalami pembusukan pada akhirnya. Disinilah peranan sistem demokrasi yang dianggap sebagian orang sebagai prototipe sistem yang lemah bagi penyelenggaraan suatu negara.

Penyimpangan demokrasi semacam ini begitu terasa melalui masifnya upaya money polytic / politik uang sebagai sarana transaksional atas jual beli suara hingga mengakomodir para tokoh masyarakat dan agama guna menyeret mereka pada kepentingan akses kekuasaan untuk ikut serta dalam program-program pemerintah guna mendapatkan bantuan pemerintah, termasuk pemberian alokasi anggaran-anggaran kegiatan yang mereka butuhkan. Sehingga tak heran jika banyak tokoh agama dan ulama yang mengalami ereksi politik terhadap arus kekuasaan. Bahkan dari hal itu, tak jarang para aktor politik bahkan melakukan kampanye politiknya di mimbar-mimbar keagamaan yang disediakan oleh sebagian tokoh-tokoh agama, sehingga banyak jemaat dari kalangan agama tertentu yang semakin merasa risih dengan berlangsungnya kegiatan tersebut dibalik tidak tegasnya sanksi atas penegakkan aturan KPU guna membatasi pelaksanaan kampanye para peserta pemilu dan pilkada daerah yang berlangsung.

Naiknya nilai kerugian negara dari bertambahnya jumlah pelaku tindak pidana korupsi, apalagi hingga oktober 2019 saja, Indonesia telah memiliki 38 provinsi, 415 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota, dan 5 kota administrasi dengan total 7.230 kecamatan, 8.488 kelurahan, dan 74.953 desa, tentu saja semakin banyak aktor politik yang memiliki akses kepada keuangan negara. Termasuk dinamika politik yang berdampak pada pertentangan terhadap kebijakan nasional yang terintegrasi, serta pola demokrasi melalui pendekatan kekuasaan yang dilancarkan hingga berujung pada naiknya jumlah penguasa dinasty politik di tanah air, Oleh karenanya, tak salah jika penulis menarik benang merah bahwa terjadinya politisasi agama, merebaknya korupsi diberbagai lapisan struktur pemerintah, serta terjadinya penyimpangan demokrasi, disebabkan penerapan OTDA yang hingga kini tanpa adanya evaluasi terhadap ekses negatif yang terjadi. Demikian tulisan yang terbatas ini penulis sampaikan, semoga ada pihak yang berkenan melakukan upaya perbaikan di kemudian hari.

Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *