Pattimurapost.com, Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan bahwa dengan dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 itu sama saja menganggap Indonesia termasuk SARA dan intoleran, tak sesuai dengan semangat sportivitas di dunia olahraga, yakni menepikan urusan politik dan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Menurut Ken, Pembatalan tersebut berkaitan erat dengan penolakan terhadap tim nasional (Timnas) Israel yang juga menjadi peserta, dan yang bikin kaget semua orang kaget adalah pembatalan waktunya jelang drawing Piala Dunia U-20 di Denpasar Bali.
Gubernur Bali, I Wayan Koster yang sebelumnya telah menyetujui ternyata berubah pikiran, akhirnya menuliskan surat ke Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) intinya Koster menolak Israel bermain di Bali setelah sebelumnya membuat twit di media sosial soal penolakan Israel.
Setelah Koster, yang membuat kaget semua orang adalah statemen Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang dianggap orang paling waras dan digadang gadang menjadi calon presiden di 2024 dan merupakan tokoh anti intoleransi, anti radikalisme pun pun juga ikut menolak Israel bermain di wilayah Solo secara terang-terangan.
Ditambah lagi beberapa partai politik hingga organisasi masyarakat (ormas) pun ikut beramai-ramai menolak Israel. Bahkan, ada ormas yang sampai melayangkan ancaman jika Israel datang ke Indonesia.
Bahkan ormas Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dianggap bisa meredam dan mencairkan suasana ternyata juga justru ikutan menolak kehadiran Israel di Indonesia.
Ken menjelaskan bahwa Indonesia mungkin boleh berbangga menjadi negara paling religius karena mayoritas agama Islam, namun ternyata intoleransi masih menjadi tantangan terkini yang terus berulang terjadi di Indonesia.
FIFA sebenarnya telah menunjukan kepada dunia bahwa di Indonesia itu masuk kategori Intoleran, namun kita tidak menyadarinya. Tambah Ken.
Misalnya kita juga lihat beberapa kasus belakangan ini tentang penutupan tempat ibadah kelompok minoritas, pelarangan pembubaran kegiatan keagamaan tertentu, ini kan kasus-kasus yang setiap tahun sering terjadi, terus berulang di berbagai tempat.
Kasus intoleransi terakhir yang sempat viral adalah pembubaran ibadah oleh seorang RT di Lampung yang akhirnya pelaku ditetapkan menjadi tersangka oleh Ditreskrimum Polda Lampung.
Ken Mengapresiasi keberanian Ditreskrimum Polda Lampung dan ini menjadi contoh Polda Polda lain untuk menindak para pelaku intoleransi, hal tersebut juga sebagai langkah edukasi kepada masyarakat agar jangan sampai main hakim sendiri dengan melakukan pelanggaran hukum.
Harusnya justru masyarakat membantu jika ada warga dilingkungan yang kesulitan dalam melaksanakan ibadah, jika belum ada ijin, tinggal dibantu, jika belum keluar ijin maka ada opsi ijin sementara, jika masih ada penolakan maka yang menyelesaikan adalah pengadilan.
Jadi masyarakat tidak berhak membubarkan peribadatan, perlu edukasi hukum terhadap masyarakat, kalau tetap memaksa maka bisa kena pasal berlapis seperti Wawan RT di Lampung yang membubarkan ibadah dengan persangkaan dugaan perbuatan pidana Pasal 156a huruf a KUHP tentang penistaan agama, dan atau 175 KUHP tentang menghalangi kegiatan agama dan atau 167 KUHP tentang masuk pekarangan orang tanpa izin. Tutup Ken. (*